Dari Alif Untuk Mama



Alif hanya bisa mentertawai dirinya sendiri ketika dia harus mengingat jawaban-jawaban atas pertanyaan yang sering menerpa semasa kecilnya. Ketika banyak yang menanyakan perihal kekurangan fisik yang ia miliki, mulai dari tangan yang memiliki jari tak sempurna dan kedua kaki yang pengkor, selalu saja dia menjawab, “kata ayah, kemarin tangan sama kaki Alif kejepit kapal pas mau pulang kerumah nenek”. Begitu lugunya dia menjawab, penulis pun sampai saat ini masih mengingat jelas jawaban itu ketika ada salah seorang anak sebaya penulis 11 tahun silam menanyakan perihal kekurangan Alif.
Alif adalah seorang anak penderita sindrom down yang tetap berusaha tegar dalam segala keterpurukan yang menimpa dirinya dan lingkungan keluarganya. Namun bagaimana juga, Alif adalah manusia yang sejatinya dapat melihat, mendengar, juga merasa. Tak ujuk baginya ia pun menghendaki semua bisa normal layaknya ciptaan-ciptaan lainnya. Setidaknya ada lah beberapa orang yang bisa sama-sama mengidap sakit lahir dan batin yang dia emban satu kampung bersamanya, toh tak akan hanya dia yang akan merasa minder dengan segala kekurangannya, karena ada pula orang yang sama mindernya dengan dia karena keterbatasan yang sama-sama mereka punya.
“Alif!” sapa seseorang dari kejauhan, suara sayup-sayup sedikit menyentak itu seketika menghentikan ayuhan kaki Alif dari pedal sepedanya. “bareng dong,” ucap Dasep sekali lagi menghimbau Alif saat tak ada lagi jarak di antara keduanya. Dasep adalah teman satu lokal Alif di SMPN 1 Jati Agung Lampung Selatan. Dia lah satu-satunya orang yang tak pernah menghindar dari Alif meskipun dengan keterbatasan yang Alif punya.” Udah dikerjain belum tugasnya lif?”, “belum sep, lah punya mu?” udah dong,” “alah palingan juga dikerjain a’ Arif kan” timpal Alif menjawab jawaban Dasep yang bilang tugasnya sudah diselesaikan. A’ arif? siapa dia? baik, penulis akan sedikit memaparkan profil singkatnya. A’ alif tak lain adalah kakak dari Dasep, dia merasa memiliki hutang budi kepada ayah Alif semasa masih di bangku sekolah menengah atas. Ketika itu, Ayahnya Alif lah yang menjadi jaminan untuk Arif ketika Arif harus pindah sekolah. Arif pun akan andil dalam cerita ini. “hahaha, kok tau lif, jangan-jangan kamu dukun ya?” ejek Dasep seraya menghentikan sepedanya. Pukul 07:15 WIB, 15 menit mereka mengayuh sepeda bersama menuju sekolahnya. Haaah, sepeda? bukankah ruas tangan beserta kaki Alif tak sempurna? Tapi itulah, meskipun demikian, Alif pun tetap pandai mengayuh sepeda dengan kencang bak orang normal lainnya. Tangannya pun tetap sigap memegang kencang kedua stang sepeda yang diameternya tak dapat dijangkau oleh kelima jemarinya.
Musibah menerpa keluarga. Bak sebuah halilintar di cuaca yang cerah, jangan kan puting beliung, angin sepoy-sepoy pun malas untuk berhembus. Tiba-tiba kabar buruk itu bak menjadi bumerang yang merobohkan semua yang ada. Ayah Alif kini entah kemana, mendengar kabar yang berhembus, ayahnya menjadi bulan-bulanan para rekan guru tempat ia mengajar karena melakukan penipuan. Memang sedikit ganjal, dengan profesinya yang hanya sebagai guru honorer di sebuah SMA dan SMP swasta, tak kurang dari waktu setahun ayahnya mampu membuat rumah yang tergolong mewah beserta tanah yang dibeli di beberapa tempat. Itulah cobaan, sebaik-baiknya manusia, ada bibit kejahatan yang siap tumbuh besar di dalam tubuh jika manusia itu tak mampu memangkasnya. Alif, anak tertua dari tiga bersaudara yang kini baru menginjak masa remajanya, tak ayal Alif merasa tambah beban moral yang harus ia emban. Kini hanya mama yang harus berkorban untuk membiayai hidupnya beserta kedua adiknya setelah ayah meninggalkan rumah entah kemana. Satu lagi cobaan terbesar yang harus mematikan satu semangat batin alif yang memang sudah melemah.
Pembagian raport, menginjak tahun kedua Alif belajar. “ma, besok orangtuanya yang suruh ambil raport” ucap Alif sedikit lesu kepada mamanya yang masih sibuk di dapur. “iya lif, jam berapa lif?” Tanya ibunya sambil menggoyah-goyahkan sayur lodeh tahu yang sedang di buat. “jam 8an lah ma”, tegas Alif dengan suara paraunya. Satu hal yang dibenci hampir semua siswa di Indonesia, dalam edaran tertulis jelas pembagian raport pukul 08:00 WIB, namun kenyataan di lapangan, tepat pukul 10:00 WIB barulah raport dibagikan. Giliran nama Alif dipanggil “Alif Pratama!”, dengan sigap mama alif yang bernama Irma maju menuju kursi yang cukup dijangkau 5 langkah di hadapannya.” Maaf bu, anak ibu harus naik dengan percobaan, jika nanti tidak ada perkembangan dalam belajarnya, kemungkinan besar Alif akan kami turunkan kembali ke kelas VII.” ucap wali kelas Alif kepada mama Alif rada’ memelas. “iya bu, gak papa, makasih banyak ya bu selama ini udah mau memperhatikan cara belajar anak saya.” Jawab ibunya Alif seraya menyodorkan tangan untuk bersalaman. Sekali lagi ibu guru berkata “oh ya bu, mungkin Alif butuh bimbingan belajar di rumah, atau, coba dicarikan guru privat.” Dengan nada lesu mama alif menjawab “iya bu, akan saya coba, sekali lagi terimakasih bu”. Memang, semenjak ayah pergi, tak ada lagi yang memperhatikan belajar Alif, mamanya pun tak memiliki waktu yang banyak untuk memperhatikan ketiga buah hatinya. Dengan membanting tulang sebagai karyawan di perkebunan karet sudah terlau banyak menguras tenaga dan waktu. Mungkin benar-benar berat bagi Alif untuk menerima musibah yang hadir, Sampai-sampai sekolahnya pun sedikit terbengkalai. Seorang ibu, tetap ingin memberikan hal terbaik untuk semua anak-anaknya.
Terpikir pesan ibu guru kemarin, mana mampu mamanya Alif bisa memperhatikan belajar Alif di rumah dengan waktu yang sedikit tersisa. Apa harus mengundang guru privat ke rumah? lalu apa mampu mama Irma membayar biayanya? sangat memusingkan. Ya Arif, seketika mamanya Alif mengingat Arif, kakaknya Dasep yang kini duduk di bangku SMA kelas XII, adalah siswa yang memang memiliki prestasi di sekolahnya. Akhirnya, setibanya mereka bertemu di mesjid saat Arif sedang mengajar TPA, mamanya Alif memohon Arif untuk bersedia menjadi guru privat anaknya, “iya ya rif, tante minta tolong banget sama kamu”. Awalnya Arif ragu, namun, teringat dulu seketika dia kesulitan mengurus surat pindah sekolah karena keterbatasan biaya, ayahnya Alif lah yang ketika itu menjadi jaminan sehingga dia bisa mendapatkan surat pindah sekolah. Akhirnya Arif menyanggupi permintaan mamanya Alif “iya tante, insyaAllah” jawab Arif yang ketika itu masih Nampak jelas ada sedikit keraguan di wajahnya. Awalnya Arif tak mau menerima, namun tante Irma tetap memberinya uang gaji sebesar Rp. 75.000,- dalam setiap bulannya.
Selang setengah tahun, ada sedikit perubahan dalam belajar Alif, disemester pertama di tahun keduanya, ada peningkatan di nilai raport Alif, kini ibu guru tak lagi meragukan Alif untuk benar-benar belajar di kelas VIII. Terpancar kepuasan di senyum mamanya Alif dan juga Alif. Lambat laun, Alif pun mulai melupakan segala kejadian yang menerpa keluarganya beberapa waktu silam.
“Kasian mama, mama pasti capek. Alif sayang mama”.
~alif~
Tulis Alif di buku hariannya.
Kini Alif sudah berada di tahun ketiga. Menginjak masa yang sulit untuk menghadapi ujian akhir sekolah, Alif tak lagi dibantu a’ Arif dalam urusan belajar. Setamatnya Arif dari sekolah, Arif tak langsung melanjutkan study nya ke perguruan tinggi. Selain sadar masalah biaya yang belum menyokong, alasan Arif memutuskan untuk menunda adalah karena dia ingin menimba dulu ilmu agama sebagai bekal kelak di akhirat. Pandangan yang luar biasa untuk kelas pemuda. Ya, itu artinya Alif harus berjuang untuk kedepannya tanpa lagi bantuan dari a’Arif. “Tante, arif minta maaf ya, arif gak bisa lagi bimbing Alif.” Ucap Arif ketika berpamitan di detik-detik terakhirnya meninggalkan kampung halaman. “Iya gak papa Arif, makasih ya selama ini udah mau bimbing adikmu Alif, ini ada sedikit uang jajan buat di perjalanan”. Sodor tante Irma kepada Arif. Lagi-lagi Arif menolaknya. Ia merasa tak pantas saja mendapatkan uang dari istrinya seseorang yang dulu juga sudah pernah membantunya di saat-saat kesulitan yang menerpanya. Namun tetap saja, tante Irma memaksa Arif untuk menerima uang tersebut. Dengan sedikit berat hati Arif akhirnya menerima pemberian itu. “Do’a kan adikmu disini ya Rif,” pinta tante Rima seraya menangis. Arif pun tak kuasa menahan kesedihan, selain ia terharu terhadap keadaan yang menimpa Alif, mulai dari fisik hingga mental ia pun merasa terharu dan berat harus meninggalkan kampung halamannya untuk beberapa saat. Bisa jadi, setahun, dua tahun, bahkan lebih dari itu.
Baru saja terlupakan masalah yang menimpa beberapa tahun lalu, muncul lagi masalah yang harus membuat Alif terjatuhkan mentalnya. Bukan lagi perihal ayah, juga bukan perihal nilai di sekolah. Kini masalah datang dari mama. Dua hari ini mama menghilang tak ada kabar. Entah kemana mama pergi. Alif mengambil buku hariannya dan mencatat satu kalimat di dalamnya
“mama kemana?, alif sayang mama”.
~alif~
Iba melihat adik sulungnya bernama Berlian yang selalu menangis menanyakan mama. Alif menggendongnya ke rumah bibinya yang tak jauh dari rumahnya. “Fahri mana Lif?” Tanya tante Sesra yang merupakan kakak dari mamanya setibanya Alif disana. “lagi sekolah bi” jawab Alif seraya menurunkan Berlian dari gendongannya. Fahri adalah adik Alif yang kini sedang duduk di kelas VI SD. “Betapa berat beban mu nak” ucap tante Sesra dalam hatinya sambil mengusap kedua kepala keponakannya itu. “tante kok nangis”, Tanya Alif yang juga terlarut dalam kesedihan yang terpancar pada wajah tantenya. “Gak papa kok Lif, Alif sama Berlian udah makan belum?” Tanya tante sambil mengusap air mata di pipinya. Dengan suara paraunya yang khas Alif menjawab, “belum tante”. Belum sempat mereka menuju ruang makan, terdengar bunyi handphone dari arah saku celana tante Sesra. Terdengar suara laki-laki di dalam handphone sana. Entah apa yang dikatakan laki-laki itu, yang jelas Alif hanya mendengar ucap syukur dari mulut tante setelah dia mendengar perkataan laki-laki yang ada dalam handphone itu. “Alhamdulillah Alif, mama sebentar lagi pulang.” ucap tante di hadapan kedua keponakannya. Ternyata yang menelpon tadi adalah om Usman yang sedang mencari mama Irma.
Mama pulang, ada kabar apa lagi yang akan Alif dengar setibanya nanti mama pulang? Apa gerangan yang membuat mama dua hari ini pergi meninggalkan rumah? Semua akan terjawabkan. “Mamaaaa” ucap Berlian seraya berlari menuju mamanya yang baru tiba. Sambil memeluk dan menciumi buah hati kecilnya, mama Irma berkata, “Maafin mama ya sayang, mama janji gak bakal ninggalin Ian lagi.” Lalu apa yang menyebabkan mama menghilang kemarin? Jadi sepulangnya mama Irma dari tempat dia bekerja, entah karena beban pikiran dan pekerjaan serta faktor kelelahan, mama Irma pingsan di tengah perkebunan karet tempat dia bekerja. Untung saja ketika itu ada seseorang yang bernam Krisna melihatnya. Tanpa pikir panjang om Krisna langsung membawanya ke rumah sakit. Jadi dua hari ini mama Irma dirawat di rumah sakit. Awalnya om Krisna panik, bagaimana caranya menghubungi keluarga mama. Setelah dua hari, barulah om Krisna berfikir untuk menanyakan kepada teman kerja mama Irma. Kenapa baru dua hari kemudian? karena memang selama dua hari itu om Krisna tidak pergi ke tempat dia bekerja karena tak ada yang menemani mama Irma di rumah sakit. Dari temannya mama Irma om Krisna bisa menghubungi om Usman adik dari mamanya Alif.
Dari pertemuan yang tak disangka itu, muncullah benih-benih cinta di antara om Krisna dan mama Irma. Alif memang masih berharap agar ayahnya bisa kembali lagi berada di tengah-tengah keluarga mereka, namun nampaknya semua tak mungkin, mamanya sudah melayangkan gugatan cerai yang dikirimkan ke tempat orangtua ayahnya di Sulawesi. Satu-satunya keinginan Alif saat ini yaitu ingin melihat mama dan adik-adiknya bisa bahagia. Sudah terlalu banyak beban yang dipikul oleh mereka. Dua bulan setelahnya mama Irma kenal dengan om Krisna, akhirnya mereka melakukan pernikahan.
“Kalau memang itu yang bisa membuat mama bisa mendapatkan kembali kebahagiaan mama yang sempat hilang, Alif rela melupakan ayah yang dulu, Alif sayang mama”.
~alif~
Itulah tulisan Alif di buku harian selanjutnya.
Ujian sekolah di depan mata, beberapa hari ini Alif benar benar belajar keras untuk mempersiapkan diri menghadapi ujian. Dia tidak mau mengecewakan mamanya, seperti yang ia tulis dalam buku hariannya,
“Alif yakin bisa, alif gak mau ngecewain mama. Alif sayang mama”.
~alif~
Waktu bermain yang ia isi penuh bersama Dasep dan teman-teman mengajinya, kini ia gunakan untuk belajar. Terkadang Dasep yang berkunjung ke rumahnya, ataupun sebaliknya. Nampak jelas guratan keseriusan di wajah Alif, mungkin dalam benaknya dia berfikir, bisa jadi ada naik percobaan, tapi mana mungkin ada lulus dengan lebel percobaan. Ujian sekolah usai. Menunggu waktu sebulan untuk menunggu hasil dari ujian.
Sebulan menunggu pengumuman menjadi waktu yang membosankan bagi Alif. Tak ayal waktu yang ada hanya ia gunakan untuk bermain-main bersama Dasep dan kawan-kawan lainnya. Sesekali mereka menikmati kehidupan anak kampung yang pergi memancing ke sungai, mandi di sungai. Meskipun Alif selalu bertugas menjaga pakaian kawan-kawannya sewaktu mereka asyik mandi di sungai, tetap Nampak jelas kebahagian di wajah Alif. Di sore harinya, mereka meluapkan hobi mereka dengan bermain bola di pekarangan masjid tempat mereka belajar mengaji. Wooow, sekali lagi kekaguman penulis terhadap Alif. Mungkin di atas kita menyaksikan Alif yang pandai bersepeda. Kini motor pun dia sudah bisa, dan penulis lagi-lagi memberikan dercak kagumnya dengan kepiawaian Alif bermain bola. Bak dirinya seorang bintang bola terkenal, selebrasi Alif ketika membobol gawang lawannya layaknya seperti Leonel Messi membobol gawang Cassilas. Saat-saat seperti itu memang memberikan kebahagiaan tersendiri untuk alif dan kawan-kawannya.
Sebulan berlalu. Waktu yang dinanti kini sudah tiba, bak beduk yang di gendang bertalu-talu, perasaan hati Alif teramat berdebar-debar menunggu hasil ujian sekolahnya. Alif yang ditemani mama ke sekolah, saat ini penuh dengan harap-harap cemas. Sebelum pergi dia sempatkan menulis di buku hariannya,
“ini waktunya, doakan alif mama, alif sayang mama”.
~alif~
Tak seperti biasanya, sekolah banyak sekali dikunjungi banyak orang tua murid. Sebenarnya Alif sedikit minder dengan keadaan ini. Ia tak ingin mamanya malu dengan keadaannya. Bagaimana tidak, baru saja dia turun dari motor, sudah banyak orangtua yang menjadikannya pusat perhatian. Melihat mamanya yang cuek tidak menghiraukan pandangan orang terhadap Alif, itu cukup meningkatkan pede Alif seratus tingkat lebih tinggi di bandingkan kepedean sebelumnya. Kami semua dikumpulkan di mushola sekolah. Setelahnya kepala sekolah memberikan nasihatnya, salah satu guru mengumumkan, “TAHUN INI SEKOLAH KITA LULUS 100 Persen”. Sontak terdengar jeritan bahagia dari semua orang yang hadir ditempat itu. Ada yang menangis, ada yang langsung bersujud syukur. Bahagianya kami hari ini.
“mama, alif berhasil, terimakasih mama. alif sayang mama.”
~alif~
Tak sampai disitu, setelahnya Alif menyelesaikan jenjang sekolah menengah pertamanya, terbesit dalam pikiranya untuk melanjutkan ke jenjang selanjutnya. Namun nampaknya mama Alif tak mampu membiaya sekolah Alif lagi, sanak family pun nampaknya tak ada juga yang mampu membantu memikul sekolah Alif. Ayahnya yang sekarang pun memiliki ekonomi yang sama dengan mamanya, apalagi tahun ini Fahri dan adik tirinya yang bernama Ira akan masuk SMP. “ya udah ma, kalo gitu Alif gak usah sekolah lagi aja gak papa”. Alif benar-benar ikhlas untuk tidak melanjutkan sekolahnya, bagaimanapun juga dia tak akan sampai hati melihat ibunya bekerja lebih keras lagi untuk membiaya sekolahnya beserta aadik-adiknya. Akhirnya Alif memutuskan untuk menimba ilmu. Memang ada beberapa pondok pesantren yang siap menerima santriwan dan santriwati tanpa memungut biaya sedikitpun. Nampak senyum bahagia setiap keluarga menjenguknya di pondok, menunjukkan betapa senangnya Alif berada di pondok.
“Biarlah Alif gak bisa beri mama harta melimpah didunia, tapi Alif janji, Alif bakal kasih mama harta yang berlipat di surga nanti, Alif sayang mama.”
~alif~
tulis Alif dalam buku hariannya. Di pondok Alif tak lagi dipandang sebagai orang yang memilki keterbatasan fisik, semua orang disana memandang Alif sama layaknya manusia ciptaan Allah yang sempurna. Kini Alif siap meniti masa depannya, meskipun entah seberapa besar lagi batu karang yang siap menjagalnya di depan sana. Semoga kehidupanmu jauh lebih baik Alif. Seberapa besar cobaan yang Allah berikan kepada hambaNya itu menunjukkan seberapa besar Allah sayang pada dirimu. Keep your spirit Alif, selamat berjuang Alif. Allah blessed you.



DSC_0557.JPGBiodata Pengarang

           








Pengarang yang bernama lengkap Dede Gunandi adalah seorang mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa Inggris di salah satu kampus swasta di Payakumbuh Sumatera Barat. Ia dilahirkan pada tanggal 03 November 1991 tepatnya di Lampung. Kegiatan sehari-harinya selain menjadi siswa ia juga seorang guru TPA. Berbekal ilmu agama yang iya dapat dari salah satu Ponpes ternama di kota Karawang. Salah satu kegiatan yang paling ia senangi ialah menjelajah tempat-tempat eksotis yang sekiranya bias menjadi tempat melepas penat dari kehidupan dunia yang nampak bak fatamorgana. Uhubbul Alam Warobbul Alam, Cinta alam sama dengan mencintai sang pencipta alam. Selalu bersyukur dan mencintai segala hal yang ada di sekililingnya menjadi moto penting dalam hidupnya.
Previous
Next Post »
Thanks for your comment